Menyewakan Barang yang Disewa
Tanya:
Kalau saya kontrak rumah 2 th sebesar Rp 20 juta , baru 3 bulan ada yang berminat menyewa dari saya untuk waktu yang tersisa ( 21 bln ) sebesar Rp 25 juta , keuntungan tsb milik siapa , milik saya atau pemilik rumah . Bagaimana kalau dibagi sebagian saya sebagian pemilik.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Terdapat satu kaidah fiqh,
المشغول لا يشغل
Sesuatu yang sibuk tidak boleh disibukkan.
Kaidah ini diisyaratkan oleh az-Zaila’i – ulama hanafiyah – dalam Tabyin al-Haqaiq,
لأن المشغول بالحاجة الأصلية كالمعدوم ولهذا يجوز التيمم مع الماء المستحق بالعطش
Karena sesuatu yang disibukkan untuk memenuhi al-Hajah al-Ashliyah (kebutuhan pokok) statusnya sebagaimana sesuatu yang tidak ada. Karena itu, boleh tayammum meskipun memiliki air yang disediakan untuk minum ketika kehausan. (Tabyin al-Haqaiq, 1/253).
Sebagaimana ini diterapkan dalam masalah fiqh ibadah, ulama juga menerapkannya dalam Fiqh Muamalah.
Sebagai contoh, orang yang menggadaikan kalung emasnya kepada si A, maka dia tidak boleh menggadaikan barang yang sama kepada si B.
Karena kalung emas telah disibukkan sebagai barang gadai bagi si A, sehingga tidak boleh disibukkan untuk barang gadai bagi si B. (al-Mabsuth, as-Sarkhasi, 26/253).
Batasan Kaidah
Ternyata kaidah di atas tidak berlaku mutlak. Dia dibatasi dengan pernyataan ‘selama tidak menggugurkan kesibukan yang pertama’. Batasan itu, disebutkan dalam Mandzumah Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyah Ibnu Utsaimin.
Beliau menyatakan,
وكلُّ مَشْغُولٍ فليس يُشْغَلُ بمُسقطٍ لما به يَنْشَغِلُ
Semua yang sudah disibukkan tidak boleh disibukkan dengan sesuatu yang bisa menggugurkan kesibukan pertama (Kaidah no. 84)
Selanjutnya Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
المشغول لا يُشْغَلُ، ولكن نحن قيّدناها فقلنا: (فليس يشغل بمسقط لما به ينشغل) ، فإن شُغِلَ بما لا يسقط فلا بأس، لكن إذا كان مشغولاً، ثم شغلناه بما يسقط الشغل الأول فإن ذلك لا يجوز
Sesuatu yang sibuk tidak boleh disibukkan. Hanya saja, kami memberikan batasan, ‘Tidak boleh disibukkan dengan sesuatu yang bisa menggugurkan kesubukan sebelumnya.’
Artinya, jika dia disibukkan dengan sesuatu yang tidak menggugurkan kesibukan pertama, tidak masalah. Akan tetapi, jika barang itu telah sibuk, kemudian kita sibukkan lagi dengan kesibukan yang menggugurkan kesibukan pertama, maka ini tidak boleh.
(Syarh Mandzumah Ushul Fiqh wa Qawaiduhu, hlm. 321).
Kemudian beliau menyebutkan beberapa contoh untuk kaidah ini. Diantaranya,
Ada orang (si X) yang menyewakan rumahnya kepada si A selama setahun. Kemudian setelah berjalan 6 bulan, oleh si X rumah itu dijual kepada si B.
Ini diperbolehkan. Karena rumah dua kesibukan ini tidak saling berbenturan. Rumah itu hanya disewa dan masih milik si X. Hanya saja, hak si A untuk menempati rumah itu tidak hilang hingga akhir tahun. Untuk menghidari sengketa, si X harus menjelaskan bahwa rumah itu disewa si A sampai akhir tahun. (Syarh Mandzumah Ushul Fiqh wa Qawaiduhu, hlm. 322).
Menyewakan Barang yang Disewa
Bagaimana dengan menyewakan barang yang disewa?.
Ketika si A menyewa rumah dari si B, berarti rumah itu telah disibukkan dengan transaksi sewa antara A dan B. Jika si A menyewakannya kembali kepada si C, berarti barang ini disibukkan lagi dengan transaksi kedua antara si A dan si C.
Jika kita memperhatikan batasan yang diberikan Imam Ibnu Utsaimin, dalam kasus menyewakan barang yang disewa, tidak ada unsur benturan kesibukan. Dengan syarat, tidak melebihi batas waktu sewa pertama. Sehingga tidak terjadi benturan hak antara si B dengan si C.
Sebagai contoh,
Si A menyewa ruko dari si B selama 3 tahun. Setelah berjalan sebulan, oleh si A, ruko disewakan lagi kepada si C selama 2,5 tahun. Dalam kasus ini tidak terjadi benturan hak antara si B pemilik ruko dengan si C sebagai penyewa kedua dari si A.
Ada beberapa keteragan ulama yang menegaskan hal itu. Berikut diantaranya,
Ibnu Rusyd menukil keterangan Ibnul Qosim (murid Imam Malik)
قال ابن القاسم: من استأجر أجيرا ينسج له أو يعمل له عملا من الأعمال، فينجز عمله؛ أنه لا بأس أن يرسله يعمل للناس، ويأتيه بما عمل
Ibnul Qosim mengatakan,
Siapa (si A) yang mempekerjakan seseorang (si B) untuk melakukan proyek tertentu hingga dia selesaikan, boleh saja dia (si B) lepaskan untuk dikerjakan orang lain (si C), lalu dia (si B) bawa hasil kerjaannya (si C) kepada si A. (al-Bayan wa at-Tahsil, 8/464).
Keterangan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni. Beliau menyebutkan daftar ulama yang membolehkan menyewakan barang yang telah disewa,
ويجوز للمستأجر أن يؤجر العين المستأجرة إذا قبضها نص عليه أحمد وهو قول سعيد بن المسيب و ابن سيرين و مجاهد و عكرمة و أبي سليمان بن عبد الرحمن و النخعي و الشعبي و الثوري و الشافعي وأصحاب الرأي
Boleh bagi penyewa untuk menyewakan barang yang dia sewa, setelah dia terima. Ini ditegaskan oleh Imam Ahmad. Dan ini merupakan pendapat Said bin Musayib, Ibnu Sirin, Mujahid, Ikrimah, Abu Sulaiman bin Abdirrahman, an-Nakhai, as-Sya’bi, at-Tsauri, as-Syafii, dan para ulama Kufah. (al-Mughni, 6/60)
Keterangan Syaikhul Islam. Beliau menjelaskan tentang oper kontrak,
ويجوز للمستأجر إجارة العين المؤجرة لمن يقوم مقامه بمثل الأجرة وزيادة، وهو ظاهر مذهب أحمد والشافعي
Boleh bagi penyewa untuk menyewakan barang yang disewa kepada orang lain dengan harga seperti harga sewa pertama atau ditambahi. Dan ini pendapat yang kuat menurut Imam Ahmad dan Imam as-Syafii. (al-Fatawa al-Kubro, 5/408)
Berdasarkan keterangan di atas, boleh menyewakan barang yang disewa sebagaima kasus yang ditanyakan, selama tidak melebihi batas sewa.
Allahu a’lam.
Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits